Puasa Politik Dan Politik Puasa
Puasa Politik Dan
Politik Puasa
Oleh: syuhudul anwar
Jika diamati dan dirasakan, dua
tahun terakhir ini kehidupan berbangsa dan bernegara terasa rumit khususnya
bagi mereka yang tidak lepas dari media. Kerumitan tersebut disebabkan oleh
bagaimana tensi politik di negara ini semakin meningkat di tiap harinya. Kerumitan
tersebut didukung oleh bebasnya berfikir masyarakat melalui media juga
disebabkan bebasnya media yang mensajikan informasi-informasi secara bebas.
Masyarakat bebas juga media bebas. Hingga hal terkecil atau istilahnya “rahasia
dapur” politik pun bisa terbaca. Satu factor lagi yang menyebabkan adanya
keterkaitan kebebasan ekspresi dan kebebasan pers, yaitu kecerdasan berfikir
masyarakat untuk memberikan penalaran mengenai segala fenomena yang terjadi
khususnya yang disajikan oleh media.
Sungguh segala fenomena yang
terjadi akan sangat memberikan pelajaran berharga hanya bagi mereka yang
berfikir. Yakni mereka yang selalu konsern terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara dan media-siapapun hari ini pasti ada gadjet di dekatnya. Bagaimana
tidak, ada jutaan pengguna media social di negara ini. Mungkin tidak kurang
dari tiga perempat dari jumlah total penduduk negeri ini yang minimal sekedar
tahu saja mengenai apa yang terjadi dari media sosial. Yang lain ada yang
memberikan komentar alakadarnya, ada juga yang memberi komentar kritis, dan ada
pula yang diseting untuk memberikan komentar politis dengan menyudutkan lawan
dan memprovokasi massa. Lebih dari itu, sisanya konsen dengan kehidupan pribadi
masing-masing, mereka yang berurusan dengan kekayaannya maupun mereka yang
sibuk dengan kemiskinannya.
Mungkin saat ini adalah akhir
dari tensi politik yang tinggi tersebut dan akan kembali dengan kehidupan yang
normal yang diwarnai oleh informasi-informasi komersial lain sebagai komoditas
media. Beberapa hari lagi umat islam dihadapkan pada satu rukun islam yang
utama yakni ibadah puasa Ramadhan. Setiap muslim di negeri ini bahkan seluruh
dunia biasanya disuarakan untuk menjaga diri dan lingkungan dari hal-hal yang
membatalkan puasa selama sebulan. Lingkungan termasuk media massa ikut berubah.
Program-program di televisi misalnya akan dipoles dengan warna keislaman,
telenovela asing yang sepintas seperti islami, program sajian informasi dunia
islam yang mendominasi, hijab mewarnai para host perempuan, ucapan salam yang
semakin fasih dari para host laki-laki, dan masih banyak contohnya yang
menunjukkan perubahan media selama satu bulan saja. Itu belum termasuk media
social yang biasanya sesekali saja memposting “sedang tahajud” berubah menjadi
postingan “sambal nunggu sahur, tahajud dulu”. Pertanyaannya, mengapa tidak
selamanya seperti itu.
Tulisan ini menggambarkan
bagaimana politik dan puasa satu sisi berbeda dan di sisi lain sama karena
bagaimanapun keduanya terjadi dan terasa. Puasa adalah upaya mengkontrol
(mengendalikan) dan menahan pemikiran dan perbuatan negatif. Sedangkan politik
adalah upaya mengendalikan bahkan menahan sesuatu dengan maksud agar tujuan
Bersama dapat tercapai. Maka ada beberapa catatan ringan yang mungkin saja bisa
diambil pelajaran dari keduanya.
Pertama, politik sebagai skill
memang telah tertanam dalam setiap diri manusia. Maka alangkah sempitnya ketika
politikus dimaknai hanya sebatas mereka yang duduk di kursi partai. Karena sesungguhnya
setiap manusia adalah politikus. Namun yang dikenal oleh banyak orang bahwa
politikus adalah mereka yang berusaha untuk mengejar kekuasaan. Yang apabila
telah menduduki kekuasaan, duduk manis, tanpa banyak bicara sesering bicara
saat sebelum duduk di kursi kekuasaan. Oleh karena itu, ada satu kondisi dimana
para actor politik melakukan control terhadap kebebasan berekspresi secara
politis. Seseorang mengkontrol dan menahan ekspresi politis dalam arti tarik
ulur perilaku politis. Jika dipersempit, pada saat pemilu, semua orang terlibat
dalam politik dengan melakukan pencoblosan, memilih pilihannya, maka semua
orang adalah politikus sesaat. Setelah itu, selesailah aksi politisnya. Bagi
mereka yang duduk di kursi partai berpolitik adalah profesi. Aksi Politik bagi mereka tidak pernah
berhenti meski pada bulan puasa. Lobi-lobi politis, negosiasi, hingga pembuatan
keputusan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak-masyarakat umum ataupun
golongannya, terus dilakukan.
Jadi sebenarnya tidak ada aksi
politis yang berhenti meski sedetik.
Yang ada hanya kontrol atau mengendalikan aksi tersebut. Karena jika
jiwa politik sudah terinternalisasi ke dalam jiwa seorang politikus, maka
seluruh jiwa dan raganya, pemikiran dan perbuatan pasti berisi perilaku politis.
Dan seorang yang berprofesi sebagai politikus atau memiliki jabatan politis,
akan mengontrol perilaku politisnya pada saat ia berhadapan dengan orang-orang
yang menurutnya dekat secara biologis. Lebih dari itu, dengan atasan apalagi
bawahan, pasti ada aksi politik meskipun hanya sebatas pemikiran. Kontrol atas aksi politis disesuaikan
dengan situasi lingkungan sekitarnya. Itulah tarik ulur aksi politik
atau puasa politik yang fleksibel,
longgar, dan labil.
Kemudian ada satu kondisi dimana orang tidak serius melakukan puasa.
Biasanya puasa dianggap tak lebih dari sekedar ritual semata. Asal menahan
lapar dan dahaga tanpa mengendalikan hawa nafsu. Karena sesungguhnya puasa memberikan dampak
minimal dan maksimal. Meski dianggap ritual, puasa memberi kontribusi minimal
kepada orang yang berpuasa. Di sisi lain puasa dimaknai sebagai titah suci dari
tuhan yang memiliki tujuan. Maka bagi orang yang berkeyakinan seperti itu akan
mendapatkan dampak maksimal. Itulah politik puasa. Dengan kata lain, Alloh Maha
segalanya khoirul makiriin dan Alloh arhamurrohimiinn.
Tulisan ini ingin mengatakan satu poin bahwa di luaran sana banyak orang
yang melakukan puasa diiringi anggapan bahwa puasa tidak lebih dari sekedar
ritual yang dilaksanakan setahun sekali. Padahal sesungguhnya, puasa
dalam arti menahan dan mengontrol hawa nafsu itu tidak ada Batasan ruang dan
waktu, bahkan tidak dibatasi hanya dalam hitungan bulan atau hanya setahun
sekali atau hanya 30 hari dari 365 hari.
Oleh karena itu, sebaiknya dan
alangkah idealnya apabila politik dan puasa tidak disatukan. Puasa sebagai
ibadah wajib ain. Dan politik-mengurus perut tetangga- juga sebagai ibadah
fardhu kifayah. Kita doakan agar, para
pelayan negeri mampu memberikan teladan terbaik kepada seluruh masyarakat dan
mampu menjadi hamba tuhan yang benar-benar serius dalam ibadah yang tidak
memandang agama sekedar kumpulan ritual tapi menjadikannya tradisi serta nilai
yang harus diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Comments
Post a Comment